Pages - Menu

Kamis, Oktober 10, 2013

Cerpen : Pencuri

Pencuri itu kelam sekali warna kulitnya. Raut wajahnya berbinar agak seram. Badannya seperti tak terurus. Ceking berpakaian lusuh, warna putih bajunya telah menguning atau menyoklat. Aku tak yakin sama sekali. Tak kukenali sama sekali wajah itu atau orang berpenampilan seperti itu. Ia berlari kencang di tengah pasar. Semakin berlari semakin dia menuju bagian pasar paling belakang. Bagian terbau. Bagian di mana berbagai jenis ikan dan daging adu penampilan. Di sudut-sudut, tempat pemotongan tegak berdirikan tenda bambu. Dibuat khusus bagi algojo sembelih dan juru bedah meraja.

Para pedagang geram mengejarnya tak henti, sebagian masih bersarung habis sembahyang zhuhur. Tak lupa membawa senjata sakti ampuh mandraguna, balok kayu pohon Sungkai. Preman pasar pun sampai hati meninggalkan meja judi. Ambil bagian operasi penangkapan. Ikutan main hakim sendiri. Mereka berteriak sambil mengangkang. Tak sudi daerah kekuasaannya dibuat onar, preman pasar berlarian memburu mangsa. Permainan judi kartu berakhir. Pertunjukan sirkus pun di mulai. 

Dia berlari saja, namun mulai ke arah yang salah. Aku yakin pelariannya akan bermuara ke jurang belakang pasar. Tak curam memang, tapi itu tempat yang terzhalimi.  Tempat juru bedah ikan tongkol membuang isi perut. Terlalu busuk sampai-sampai petugas kebersihan kampung tak sudi mendekati daerah tak terurus itu.

Sebenarnya dia bisa saja berbelok ke kanan sebelum berpapasan dengan pagar batas jurang. Ada gang sempit yang mungkin bisa dibuat menjadi tempat suaka perlindungan. Sekitar 100 meter ke arah timur jauh. Masih ada kesempatan melarikan diri, gumamku. Tapi apa daya, tak sempat aku kirim telepati strategi pelarian diri, takdir membawanya masuk dalam surga perut ikan. Rawa berhantu ikan semah busuk. 

Pencuri itu benar-benar salah ambil langkah. Dilompatinya pagar batas setinggi satu meter seperti atlet lari halang rintang asal China pemenang olimpiade Athena 2004, Liu Xiang. Bau busuk isi perut ikan dilibasnya, tak peduli sama sekali.

Para pedagang yang sudah naik pitam berhenti di depan garis batas pagar. Pencuri itu bersembunyi di antara semak-semak belukar. Entah di semak yang mana, tak ada yang yakin. Terlalu banyak semak belukar di sana, sebagian besar gulma berduri. Ada rawa kecil di tengah-tengah jurang tempat pemancing biasa menjerat belut. Pencuri itu hilang dari pandangan. Hanya gerakan-gerakan kecemasan yang terlihat dari krasak-krusuk semak belukar. Ratusan mata penuh amarah berdiri mengeker mangsa yang tersudut. Pencuri malang menjadi pusat tata surya amarah penduduk pasar. Seperti menonton kerbau terjerat dalam kubangan saja. Miris sekali. 

Jagoan preman pasar ambil suara duluan. Jadi pusat komando ratusan masa penuntut umum. Anak-anak kecil tertegun ikut-ikutan. Berlompat-lompatan seperti melihat gajah Thailand bermain bola. Sementara wanita-wanita separuh baya, tak begitu tua, penjual manisan pinggiran. Tak henti mengucapkan hardikan. Sebagian ibu-ibu tua anggota rutin pengajian makjilis taklim Masjid Raya kampung beristigfar mohon ampun. Bapak-bapak penjaga toko perabotan rumah tangga melongoh saja, kehabisan nafas setelah dipaksa berlari sprint. Sementara algojo sembelih dan juru bedah yang diharapkan ikut serta tak beranjak sama sekali dari daerah kekuasaan mereka. Masih mengasah pisau keramat turun temurun. Tajam dan berkilau. Warisan nenek buyut jaman Belanda.

Preman bertubuh kekar, brewokan, serta bertato macan jadi hakim lapangan. Wasit pengatur permainan. Dia lah jagoan preman nomor satu. Orang paling ditakuti sekampung Jaya Makmur. Penjudi kelas kakap. Pelindung pasar (katanya). Di ambilnya sebongkah batu lalu di lemparnya ke arah semak-semak di sekitar rawa itu. Bergegas kemudian anggota preman yang lain ikut-ikutan melempar kerikil aspal ke arah yang sama. Diikuti para pedagang yang sedari tadi geram, mereka melempar batu koral. Hujan batu tak terhindari lagi. Drama pemburuan pencuri serta merta seperti jemaah hati melempar jumrah. Pemandangan yang memilukan. 

bersambung Cerpen : Pencuri 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar