Pencuri itu kelam sekali warna kulitnya. Raut wajahnya berbinar
agak seram. Badannya seperti tak terurus. Ceking berpakaian lusuh,
warna putih bajunya telah menguning atau menyoklat. Aku tak yakin sama sekali. Tak kukenali sama sekali wajah itu atau orang berpenampilan seperti itu. Ia berlari kencang
di tengah pasar. Semakin berlari
semakin dia menuju bagian pasar paling belakang. Bagian terbau. Bagian di mana
berbagai jenis ikan dan daging adu penampilan. Di sudut-sudut, tempat pemotongan
tegak berdirikan tenda bambu. Dibuat khusus bagi algojo sembelih dan juru bedah
meraja.
Para
pedagang geram mengejarnya
tak henti, sebagian masih bersarung habis sembahyang zhuhur. Tak lupa membawa
senjata sakti ampuh mandraguna, balok kayu
pohon Sungkai. Preman pasar pun sampai hati meninggalkan meja
judi. Ambil bagian operasi penangkapan. Ikutan main hakim sendiri. Mereka
berteriak sambil mengangkang. Tak sudi daerah kekuasaannya dibuat onar, preman
pasar berlarian memburu mangsa. Permainan
judi kartu berakhir. Pertunjukan sirkus
pun
di mulai.
Dia
berlari saja, namun mulai ke arah yang salah. Aku yakin
pelariannya akan bermuara ke jurang
belakang pasar. Tak curam
memang, tapi itu tempat yang terzhalimi. Tempat juru bedah ikan tongkol membuang isi perut. Terlalu
busuk sampai-sampai petugas kebersihan kampung tak sudi mendekati daerah tak
terurus itu.
Sebenarnya dia bisa saja
berbelok ke kanan sebelum berpapasan
dengan pagar batas jurang. Ada
gang sempit yang mungkin bisa dibuat menjadi tempat suaka perlindungan. Sekitar
100 meter ke arah timur jauh. Masih ada kesempatan melarikan diri, gumamku.
Tapi apa daya, tak sempat aku kirim telepati strategi pelarian diri, takdir
membawanya masuk dalam surga perut ikan. Rawa berhantu ikan semah busuk.
Pencuri itu benar-benar
salah ambil langkah. Dilompatinya pagar batas setinggi satu meter seperti atlet
lari halang rintang asal China pemenang olimpiade Athena 2004, Liu Xiang. Bau busuk isi perut
ikan dilibasnya, tak peduli sama sekali.
Para
pedagang yang sudah naik pitam berhenti di depan garis batas pagar. Pencuri itu
bersembunyi di antara
semak-semak belukar. Entah di semak yang
mana, tak ada yang yakin. Terlalu banyak semak belukar di sana, sebagian besar
gulma berduri. Ada rawa kecil di tengah-tengah
jurang tempat
pemancing biasa menjerat belut. Pencuri itu hilang dari pandangan. Hanya
gerakan-gerakan kecemasan yang terlihat dari krasak-krusuk semak belukar. Ratusan mata penuh
amarah berdiri mengeker mangsa
yang tersudut. Pencuri malang menjadi pusat tata surya
amarah
penduduk pasar. Seperti menonton kerbau terjerat dalam
kubangan saja. Miris sekali.
Jagoan
preman pasar ambil suara duluan.
Jadi pusat komando ratusan masa penuntut umum. Anak-anak kecil tertegun ikut-ikutan. Berlompat-lompatan seperti melihat gajah Thailand
bermain bola. Sementara wanita-wanita
separuh baya, tak begitu tua, penjual manisan pinggiran. Tak henti mengucapkan hardikan. Sebagian ibu-ibu tua anggota rutin pengajian
makjilis taklim Masjid Raya kampung beristigfar mohon ampun. Bapak-bapak penjaga toko perabotan rumah tangga
melongoh saja, kehabisan nafas setelah dipaksa berlari sprint. Sementara algojo sembelih dan juru bedah yang diharapkan
ikut serta tak beranjak sama sekali dari daerah kekuasaan mereka. Masih
mengasah pisau keramat turun temurun. Tajam dan berkilau. Warisan nenek buyut
jaman Belanda.
Preman bertubuh kekar,
brewokan, serta bertato macan jadi hakim lapangan. Wasit pengatur permainan. Dia
lah jagoan preman nomor satu. Orang paling ditakuti sekampung Jaya Makmur.
Penjudi kelas kakap. Pelindung pasar (katanya). Di ambilnya sebongkah batu lalu
di
lemparnya ke arah semak-semak di sekitar rawa itu. Bergegas kemudian anggota
preman yang lain ikut-ikutan melempar kerikil aspal ke arah yang sama. Diikuti para pedagang yang
sedari tadi geram, mereka melempar batu koral. Hujan batu tak terhindari lagi. Drama pemburuan
pencuri serta merta seperti jemaah hati melempar jumrah. Pemandangan yang
memilukan.
bersambung Cerpen : Pencuri 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar