Aku
di sana tepat waktu kejadian perkara. Tak direncanakan sebelumnya, aku beserta bibiku turut
menjadi saksi hidup drama suatu kejadian. Rasa kantuk yang
awalnya menguasaiku sontak berubah drastis ketika aku ingat sekali pencuri itu
sempat berlari dibelakang ku beberapa saat tadi.
“Apa
yang dia curinya Mak ?” Bibiku bertanya kepada seorang perempuan tua
pedagang sayuran yang biasanya
berjualan di depan toko karpet
pak Budiman. Panggilan Mak sudah menjadi
budaya kaum kami meninggikan derajat perempuan yang umurnya jauh lebih tua.
“Dak
tau emak tu, tadi macam bawak karung beras budak tu lari”
Aku
bergumam seketika. Polisi belum tampak juga batang hidungnya. Mungkin sedang asyik bermain catur atau
menonton TV. Mungkin juga sedang makan siang lalu tidur siang di beranda ruang
tunggu pelaporan 24 jam. Tak ada yang peduli. Setan-setan sudah menjarah nurani
masyarakat pasar. Tak ada ampun lagi, pencuri itu jadi bulan-bulanan. Lima
belas
menit drama pelemparan jumrah berlangsung. Tak ada tanda-tanda pergerakan
pencuri itu. Bahkan teriakan kesakitan pun tak terdengar dari semak-semak.
Jagoan preman nomor satu ambil instruksi
penghentian lemparan. Kesal lemparannya tak ditanggapi
sama-sekali. Diambilnya parang, masuklah jagoan preman
nomor satu beserta empat orang ajudan preman berpangkat bintang tiga dan dua ke arah rawa.
Bau amis perut ikan mulai beradu-adu dengan rasa ingin membunuh. Bertambahlah kesal mereka berlima. Di pangkas habis tumbuhan belukar semak berduri. Para penonton bersorak-sorai memberi dukungan. Ramainya mengalahkan acara tahunan panjat pinang kampung. Ada juga yang mengiba. Rata-rata ibu-ibu tua yang tak tahan melihat adegan pembantaian. Mereka tak berani bersuara. Hanya bergumam. Air mata tak sadar turun seketika.
Bau amis perut ikan mulai beradu-adu dengan rasa ingin membunuh. Bertambahlah kesal mereka berlima. Di pangkas habis tumbuhan belukar semak berduri. Para penonton bersorak-sorai memberi dukungan. Ramainya mengalahkan acara tahunan panjat pinang kampung. Ada juga yang mengiba. Rata-rata ibu-ibu tua yang tak tahan melihat adegan pembantaian. Mereka tak berani bersuara. Hanya bergumam. Air mata tak sadar turun seketika.
Baru
sepuluh menit masuk lubang jurang. Pencarian pun menemui hasil. Pencuri ditemukan menyuruk
di tepi rawa. Tak peduli
dengan duri-duri gulma, dia peluk erat karung beras hasil curian. Ia bersimpah darah. Batu lemparan ternyata tepat mengenai
target sasaran. Perkiraan jagoan preman
nomor satu tadi tepat. Dia memilih daerah semak belukar yang
benar.
Sepertinya dia pernah sukses dalam pelajaran gerak parabola SMA kelas satu.
Kepala sang pencuri
berlumuran darah. Tak
terkecuali punggung yang habis kena hantaman koral bertubi-tubi. Pencuri tersebut sempat bergerak.
Seperti orang kena ayan. Satu lengan memeluk erat karung beras, satunya lagi
memegang erat kepalanya.
“Mati
kau pencuri sialan ?”
Jagoan preman nomor satu melayangkan tendangan ke arah muka pencuri. Berkali-kali. Tak
ada perlawanan sama sekali. Darah semakin mengalir dari tengkorak belakang. Tendangan terakhir. Pencuri malang
tiada.
“Bang,
mati ni orang. Cak mano ni ?”
Ajudan jagoan preman berpangkat
bintang dua sedikit ketakutan.
Dia takut ini jadi kasus pembunuhan. Abang
jagoan preman nomor satu hanya tersenyum.
Dia layangkan parang ke udara. Seperti memberi isyarat kemenangan.
Penonton
di atas jurang menganggap itu
pesan tersurat. Operasi penggeledahan rawa busuk disangka berbuah manis. Mereka
tambah riuh bersorak. Hujan hardikan membumi. Tak henti-henti. Tapi, satu hal
yang pasti. Nyawa orang telah hilang siang ini.
Diseretnya mayat
pencuri ke atas jurang. Jagoan preman nomor satu berjalan paling depan. Ajudan
jagoan preman berpangkat bintang dua ditugaskan jadi tim penyeret. Darah
pencuri malang masih mengalir, membentuk pola jalan diantara buangan isi perut
berbagai jenis ikan. Tak tahan aku melihat akhir drama ini. Bibiku yang juga
tak tahan sedari tadi, memalingkan muka, lalu menangis. Di genggamnya lenganku.
Erat sekali.
Sang pencuri beras telah mati. Hardikan yang sedari tadi membahana sontak diam. Pemandangan jadi memilukan. Ibu-ibu tua anggota rutin pengajian yang tadinya bersedih lalu menangis. Anak-anak kecil yang awalnya berloncatan riang pun juga ikut diam. Bingung melihat bapak dan ibu mereka bersedih. Mereka juga menangis. Hanya jagoan preman nomor satu beserta ajudan preman berpangkat bintang dua dan tiga yang tampak gagah tersenyum.
Beberapa detik kemudian, dua orang anak perempuan berlarian menuju kerumunan yang di tengahnya tergeletak mayat pencuri beras itu. Mereka berbaju lusuh. Kurus sekali. Sama pesis seperti pencuri malang itu. Mereka agak terpincang-pincang. Sambil memegang perut. Mereka menangis. Mereka menggeram.
“Ayaaaaaahhhhh !!!”
Sang pencuri beras telah mati. Hardikan yang sedari tadi membahana sontak diam. Pemandangan jadi memilukan. Ibu-ibu tua anggota rutin pengajian yang tadinya bersedih lalu menangis. Anak-anak kecil yang awalnya berloncatan riang pun juga ikut diam. Bingung melihat bapak dan ibu mereka bersedih. Mereka juga menangis. Hanya jagoan preman nomor satu beserta ajudan preman berpangkat bintang dua dan tiga yang tampak gagah tersenyum.
Beberapa detik kemudian, dua orang anak perempuan berlarian menuju kerumunan yang di tengahnya tergeletak mayat pencuri beras itu. Mereka berbaju lusuh. Kurus sekali. Sama pesis seperti pencuri malang itu. Mereka agak terpincang-pincang. Sambil memegang perut. Mereka menangis. Mereka menggeram.
“Ayaaaaaahhhhh !!!”
Jagoan preman nomor
satu tertunduk seketika.
kamar malas, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar