Pages - Menu

Kamis, Oktober 10, 2013

Cerpen : Pencuri 2

Aku di sana tepat waktu  kejadian perkara. Tak direncanakan sebelumnya, aku beserta bibiku turut menjadi saksi hidup drama suatu kejadian. Rasa kantuk yang awalnya menguasaiku sontak berubah drastis ketika aku ingat sekali pencuri itu sempat berlari dibelakang ku beberapa saat tadi.

“Apa yang dia curinya Mak ?” Bibiku bertanya kepada seorang perempuan tua pedagang sayuran yang biasanya berjualan di depan toko karpet pak Budiman. Panggilan Mak sudah menjadi budaya kaum kami meninggikan derajat perempuan yang umurnya jauh lebih tua. 

“Dak tau emak tu, tadi macam bawak karung beras budak tu lari”   

Aku bergumam seketika. Polisi belum tampak juga batang hidungnya. Mungkin sedang asyik bermain catur atau menonton TV. Mungkin juga sedang makan siang lalu tidur siang di beranda ruang tunggu pelaporan 24 jam. Tak ada yang peduli. Setan-setan sudah menjarah nurani masyarakat pasar. Tak ada ampun lagi, pencuri itu jadi bulan-bulanan. Lima belas menit drama pelemparan jumrah berlangsung. Tak ada tanda-tanda pergerakan pencuri itu. Bahkan teriakan kesakitan pun tak terdengar dari semak-semak. Jagoan preman nomor satu ambil instruksi penghentian lemparan. Kesal lemparannya tak ditanggapi sama-sekali. Diambilnya parang, masuklah jagoan preman nomor satu  beserta empat orang ajudan preman berpangkat bintang tiga dan dua ke arah rawa. 
 Bau amis  perut ikan mulai beradu-adu dengan rasa ingin membunuh. Bertambahlah kesal mereka berlima. Di pangkas habis tumbuhan belukar semak berduri. Para penonton bersorak-sorai memberi dukungan. Ramainya mengalahkan acara tahunan panjat pinang kampung. Ada juga yang mengiba. Rata-rata ibu-ibu tua yang tak tahan melihat adegan pembantaian. Mereka  tak berani bersuara. Hanya bergumam. Air mata tak sadar turun seketika. 
 
Baru sepuluh menit masuk lubang jurang. Pencarian pun menemui hasil. Pencuri ditemukan menyuruk di tepi rawa. Tak peduli dengan duri-duri gulma, dia peluk erat karung beras hasil curian. Ia bersimpah darah. Batu lemparan ternyata tepat mengenai target sasaran. Perkiraan jagoan preman nomor satu tadi tepat. Dia memilih daerah semak belukar yang benar. Sepertinya dia pernah sukses dalam pelajaran gerak parabola SMA kelas satu.
            
Kepala sang pencuri berlumuran darah. Tak terkecuali punggung yang habis kena hantaman koral bertubi-tubi. Pencuri tersebut sempat bergerak. Seperti orang kena ayan. Satu lengan memeluk erat karung beras, satunya lagi memegang erat kepalanya.
“Mati kau pencuri sialan ?”
            
Jagoan preman nomor satu melayangkan tendangan ke arah muka pencuri. Berkali-kali. Tak ada perlawanan sama sekali. Darah semakin mengalir dari tengkorak belakang. Tendangan terakhir. Pencuri malang tiada.
“Bang, mati ni orang. Cak mano ni ?”  

Ajudan jagoan preman berpangkat bintang dua sedikit ketakutan. Dia takut ini jadi kasus pembunuhan. Abang jagoan preman nomor satu hanya tersenyum. Dia layangkan parang ke udara. Seperti memberi isyarat kemenangan. Penonton di atas jurang menganggap itu pesan tersurat. Operasi penggeledahan rawa busuk disangka berbuah manis. Mereka tambah riuh bersorak. Hujan hardikan membumi. Tak henti-henti. Tapi, satu hal yang pasti. Nyawa orang telah hilang siang ini.
Diseretnya mayat pencuri ke atas jurang. Jagoan preman nomor satu berjalan paling depan. Ajudan jagoan preman berpangkat bintang dua ditugaskan jadi tim penyeret. Darah pencuri malang masih mengalir, membentuk pola jalan diantara buangan isi perut berbagai jenis ikan. Tak tahan aku melihat akhir drama ini. Bibiku yang juga tak tahan sedari tadi, memalingkan muka, lalu menangis. Di genggamnya lenganku. Erat sekali.   

Sang pencuri beras telah mati. Hardikan yang sedari tadi membahana sontak diam. Pemandangan jadi memilukan. Ibu-ibu tua anggota rutin pengajian yang tadinya bersedih lalu menangis. Anak-anak kecil yang awalnya berloncatan riang pun juga ikut diam. Bingung melihat bapak dan ibu mereka bersedih. Mereka juga menangis. Hanya jagoan preman nomor satu beserta ajudan preman berpangkat bintang dua dan tiga yang tampak gagah tersenyum.

Beberapa detik kemudian, dua orang anak perempuan berlarian menuju kerumunan yang di tengahnya tergeletak mayat pencuri beras itu. Mereka berbaju lusuh. Kurus sekali. Sama pesis seperti pencuri malang itu. Mereka agak terpincang-pincang. Sambil memegang perut. Mereka menangis. Mereka menggeram.

“Ayaaaaaahhhhh !!!” 

Jagoan preman nomor satu tertunduk seketika.


kamar malas, 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar