Diam, bentuk dari penyebab merancu. Membawa segudang tanya dalam
mata. Warna indah yang penuh hipotesa aneh. Pancaran kebingungan diri.
Tiada satu yang mengerti. Bahkan bukan seolah-olah membualkan
kebohongan. Kita dalam pikiran kita. Mengundang secarik tanda. Bahkan
diksinya terlalu berat untuk dipahami. Aura kebebasan dalam kesunyian.
"Kau pendiam paling hebat. Bukan tak berasalan, tapi kadang alasannya
tak bermuasal. Cuma bermuarakan akibat. Penyebab adalah rahasia paling
dalam. Diungkap ? Aku rasa tidak. Tapi ,itulah indahnya kamu. Diam, cara
terindah. Penganugerahan Tuhan yang diberi. Diam, sebuah destinasi
terakhir kah ?"
"Aku bukan orang yang tahan akan kediaman. Pengalahan diri, membuat
alur baru. Mengais lalu membuka satu demi satu lara yang kau pendam.
Paling tidak aku merangkai diksi. Permainan kata adalah kebisaanku."
Seperti dulu,…
"Kita pernah diam bersama, dalam satu keadaan yang tak
berasal-muasal. Hidup dalam benak kita masing-masing. Bertatapan tapi
tak berarah. Kau dalam duniamu, jauh berpikir dalam pesonamu. Aku hanya
memandang saja. Sedikit menunggu waktu, kata pertama yang kau ucap. Kau
paling hebat bermain dalam hal ini."
Dari kejauhan,….
Dan sekarang, kapan lagi kita berteka-teki lagi. Kau dan aku sudah
sama-sama bisu. Kau dalam duniamu, aku dalam duniaku. Sudah berbeda arah
kah ? Atau cuma pembohongan diri saja. Saling merasa tercukupi. Atau
memilih menjalani kekosongan. Hidup yang tak pernah sempurna. Dalam diam
kita kali ini. Sama-sama diam. Itu saja.
Astrakhan’13
dan adakalanya kita butuh diam sejenak....
BalasHapus